Minggu, 12 Oktober 2008

"FRANCIS HUTCHESON (1694-1746)"

Hutcheson mungkin merupakan tokoh yang paling mewakili estetika Inggris abad ke-18. Karena dengan Hutcheson doktrin-doktrin transisi telah selesai. Tidak ada lagi jejak transendentalisme Plato;teori estetikanya terfokus semata-mata pada fenomena inderawi, dan ketanpapamrihan berjalan secara mulus dalam konsepsinya tentang rasa.

Menurut Hutcheson kata "Keindahan" (beauty) bukanlah nama sebuah obyek transendal, juga bukan nama dari obyek yang kita lihat, dengar atau sentuh. "Keindahan" memberikan nama pada "ide yang muncul dalam diri kita". Artinya, ia merujuk pada sebuah obyek dalam kesadaran kita yang dibangunkan oleh persepsi atas obyek-obyek eksternal tertentu. Keindahan sudah menjadi sangat subyektif. Sekali pengalaman keindahan dikenali, penyelidikan dapat dibuat untuk mengetahui apakah ada ciri-ciri obyek persepsi yang mendorong untuk terjadinya pengalaman keindahan. Rumusan Hutcheson yang terkenal adalah "Uniformitas dalam Varietas", yakni kesatuan dalam keaneka-ragaman. Kadang kala ia merujuk "Kesatuan dalam Keragaman" sebagai keindahan, artinya penyebab keindahan. Apa yang dimaksud Hutcheson dengan "Ide Keindahan" adalah rasa keindahan itu sendiri.

Ketika Hutcheson berbicara tentang rasa keindahan, yang dimaksud adalah sebuah kemampuan yang membangunkan ide atau rasa keindahan dalam pikiran. Jika Shaftesbury menyatakan bahwa ada satu indera internal dengan beberapa fungsi Hutcheson berpendapat bahwa ada beberapa indera dengan fungsi-fungsi tunggal : rasa moral, rasa keindahan, rasa takjub, dsb. Namun, ia hanya membicarakan tentang rasa moral dan rasa keindahan. Indera-indera ini adalah indera-indera internal, artinya bahwa obyek-obyeknya pun juga internal, berbeda dengan indera-indera eksternal, seperti penglihatan, pendengaran yang obyeknya eksternal. Indera-indera internal sifatnya reaktif secara alamiah, bukan secara persepsi, yakni bahwa indera-indera ini bukanlah cara melihat dunia, seperti penglihatan dan pendengaran.

Seperti juga Shaftesbury, Hutcheson berusaha membantah teori psikologi Thomas Hobbes, yang mengatakan bahwa semua tingkah laku bersifat mementingkan diri. Menurut, Hutcheson alasan menyebut kemampuan mempersepsi keindahan sebagai rasa adalah bahwa kesadaran akan keindahan itu sifatnya langsung, artinya tanpa melalui pikiran. Pengalaman keindahan seperti merasakan asinnya garam atau manisnya gula. Hutcheson, berpendapat bahwa jika pengalaman keindahan bebas dari pikiran, serta kalkulasi otak, maka apresiasi estetis menjadi tanpa-pamrih. Misalnya, jika saya membuka mata dan melihat sebuah pensil merah, kesadaran akan kemerahan tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan diri, walaupun ada niat untuk melihat warna hijau, tetapi saya tidak dapat melakukannya.

Teori Hutcheson di desain agar pengalaman keindahan dan penilaian keindahan menjadi obyektif dengan mengikatnya pada kemampuan-kemampuan bawaan yang fundamental dari konstitusi diri manusia. Kemapuan-kemampuan ini tanpa-pamrih, karena mereka adalah indera-indera rasa yang tak gampang dipengaruhi. Seperti yang dikatakan Hutcheson, bahwa rasa keindahan itu sifatnya pasif;yakni ia bereaksi secara otomatis, dan rasa keindahan tidak berasal dari "Pengetahuan akan azas-azas, proporsi-proporsi, sebab-sebab, atau manfaat sebuah obyek.

0 comments: